BAB I
SUNAN PAKU BUWANA IV SINUWUN
PAKU BUWANA IV SERAT WULANGREH
A. RAJA PINANDHITA
Sunan Paku Buwana IV adalah Narendra Pinandhita yang mengarang Serat Wulangreh. Bratadiningrat (1990) menulis riwayat Sinuwun Paku Buwana IV (1788 –1820) dalam Bahasa Jawa sebagai berikut : Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panata Gama Khalifatullah Ingkang Kaping IV Ing Negari Surakarta Hadiningrat, sinebut Sunan Bagus, putra dalem Sinuwun Paku Buwana III, ingkang nomer 17 miyos saking Praweswari Ratu Kencana. Asma timur B.R.M. Gusti Subadya.
Raja dan kraton merupakan pusat atau inti kekuasaan dalam pandangan orang Jawa dalam abad – abad lampau. Narendra atau ratu dalam hal ini dilihat sebagai personafikasi Tuhan. Sementara kraton dianggap sebagai wadah yang menampung semua kekuatan supranatural. Dengan demikian, kombinasi antara narendra dan kraton merupakan “ pusat “ dari pusatnya kekuasaan. Dan memang, sesungguhnyalah, narendra dan kraton tidak bisa dipisah – pisahkan satu sama lain.
Keutuhan narendra dan kraton bukan saja dapat dilihat sebagai refleksi dari keutuhan kekuasaan, akan tetapi juga mengungkapkan ada kesatuan dan keteraturan tata kosmos (jagat raya) yang mereplikasikan dirinya ke dalam bangunan kekuasaan narendra dan kraton (Fachry Ali, 1986). Pandangan kekuasaan semacam ini sesungguhnya sangat erat sekali kaitannya dengan pandangan lingkungan masyarakat Jawa lampau. Bagi mereka, lingkungan bukan hanya kenyataan – kenyataan obyektif yang bisa ditangkap oleh panca indra, melainkan lebih universal sifatnya. Universal, dalam arti kenyataan – kenyataan hidup yang dapat ditangkap oleh panca indra secara utuh, menyatu dengan hal – hal yang tidak bisa ditangkap oleh panca indra. Dalam kata lain, realitas tidak dibagi dalam bagian yang terpisah – pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai sesuatu yang menyeluruh.
Pada hakikatnya, orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap – sikap religius dan bukan religius. Bahkan interaksi – interaksi social; sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan social. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki (Fachry Ali, 1986). Dengan demikian, lingkungan dalam pandangan Jawa masa lampau menjadi sesuatu yang amat penting. Dia merupakan basis kehidupan yang meliputi individu, masyarakat dan alam sekitarnya. Ke semua unsur lingkungan itu menyatu dalam alam adi kodrati (supernatural). Pentingnya lingkungan ini adalah sebab, kelanjutan dan kontinuitas kehidupan sepenuhnya terletak atau berada dalam lingkungan. Keteraturan ini sendiri merupakan refleksi dari konsep system kepercayaan Jawa, yang mengemukakan bahwa kehidupan yang terkoordinasi antara manusia dan alam sekitarnya merupakan system kehidupan yang didambakan.
Serat Wulangreh karangan Sri Susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta Hadiningrat tentang Pendidikan Budi Pekerti merupakan warisan leluhur yang bernilai tunggal yang perlu diselesaikan. Pendidikan Budi Pekerti tersebut Bermatra Ganda (Multi Dimensional) yang berbentuk system – system ajaran yang antara lain meliputi : Sistem “ Latihan “ mengurangi makan dan tidur. System “ Paradoks “ yang menunjukkan adanya perbedaan antara dua kutup yang umum disebut bertentangan, seperti : pria/wanita, siang/malam, kaya/miskin, pintar/bodoh, sehat/sakit, sengsara/bahagia, mujur/malang, positif/negatif, aktif/pasif, hidup/mati, harapan/putus asa, dan lain – lain (T. Hadiwirjanto, 2002). Sistim “ awal – akhir “ yang memahami bahwa gejala awal yang buruk akan bermuara pada hasil akhir yang baik, dan sebaliknya gela awal yang baik justru menghasilkan buah yang buruk. Dengan demikian manusia akan mengalami hidup yang lengkap (utuh) (T. Hadiwirjanto, 2002).
B. SUNAN BAGUS
Pada 1788, Sinuwun Paku Buwana III digantikan oleh Sinuwun Paku Buwana IV yang memiliki tradisi yang berbeda dengan sunan – sunan sebelumnya. Perubahan itu diadakan dalam rangka menjawakan kehidupan masyarakat, antara lain, sebagai berikut. Pakaian prajurit yang sebelumnya seperti pakaian prajurit Belanda diganti pakaian prajurit Jawa. Setiap hari Jum’at, Sunan bersembahyang di Masjid Besar. Setiap hari Sabtu diadakan latihan warangan. Setiap abdi dalem yang menghadap narendra diwajibkan berpakaian santri. Mereka yang tidak patuh dipecat.
Mengangkat adik – adiknya menjadi pangeran, seperti Raden Mas Tala menjadi Pangeran Mangkubumi ; Raden Mas Sayidi menjadi Pangeran Arya Buminata tanpa izin Sultan, Mangkunegara, atau Kompeni. Tindakan Sunan itu didalangi oleh Bahman, Wiradigda, Panengah, Nursaleh, Raden Santri, Kandhuruwan. Oleh sebab itu, kota Surakarta dikepung pasukan Sultan, Mangkunegaran, dan Kompeni. Kejadian ini dilukiskan oleh Yasadipura II dalam Serat Babad Pakepung (Mulyanto, dkk, 1990).
Dalam masa Pakepung itu Belanda menuntut supaya keenam orang yang mendalangi Sunan diserahkan sebagai tawanan. Apabila tidak dipenuhi, Surakarta akan diserbu oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Kompeni. Akibat tekanan tersebut, akhirnya Sunan tunduk kepada Belanda. Demi pengamanan daerah, pada tanggal 22 September 1788, Sunan menandatangani perjanjian yang isinya sebagai berikut : Dalam setiap menghadapi segala masalah, Sunan dan Kompeni harus menghadapi bersama dalam ikatan persaudaraan. Pengangkatan Patih atau Pangeran Adipati Anom harus mendapat persetujuan dari Kompeni melalui Gubernur di Semarang atau Residen di Surakarta.
Dalam konsep kesatuan dan keteraturan ini, tidaklah dihayati sebagai kejadian yang berdiri sendiri – sendiri, oleh sebab setiap masing – masing yang merupakan bagian dan totalitas yang dikoordinasikan oleh kekuatan supranatural (kekuatan gaib). Memahami kenyataan yang semacam inilah yang disebut kasunyatan. Suatu kenyataan yang lahir oleh sebab akibat yang pada akhirnya berhubungan dengan penyebab tunggal.
Sebab itulah, alat pemahaman terhadap kenyataan itu tidak cukup hanya dengan panca indra atau akal, melainkan juga dengan hati (Fachry Ali, 1986). Dengan demikian, lewat cara manapun, segala hal yang dilihat yang dilihat lewat pikiran, tetap saja bahwa kondisi – kondisi kosmis dan duniawi timbul sebab keteraturan dan koordinasi. Peristiwa – peristiwa ditimbulkan oleh struktur yang terkoordinasi : kraton dibangun sesuai dengan tata kosmos. Pada analisa terakhir, kebenaran realitas lingkungan adalah masalah spiritual dan bukan masalah material yang kasat mata, melainkan adalah masalah batin, yang merupakan percikan hakikat kosmos yang meliputi segala – galanya, atau urip. Realitas materi dari suatu lingkungan tak lain adalah dan hanyalah bagian cerminan dari system sebab akibat yang lebih tinggi. Paham Jawa tentang kasunyatan meliputi baik kondisi – kondisi kasar maupun yang halus menyangkut kebenaran dan hakikat (realistik terakhir).
Kasunyatan adalah realitas sehati, jelas, dan self evident, menjadi sebab akibatnya sendiri (Fachry Ali, 1986). Dalam konteks pemahaman dan pandangan semacam inilah posisi narendra dan kraton menjadi sangat penting. Seperti telah dikemukakan di atas, narendra merupakan pusat mikro kosmos kerajaan dan duduk di puncak hikaris status. Dengan demikian, narendra merupakan pusat perhimpunan kekuasaan. Narendra dalam hal ini dibayangkan sebagai “ pintu air yang menampung seluruh air sungai”. Dan bagi tanah yang lebih rendah, merupakan satu – satunya sumber air dan kesuburan”. Sementara kraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan itu. Sebab bagi kraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan itu.
Sebab bagi rakyat Jawa, kraton tidak hanya dihayati sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat kramat kerajaan (Fachy Ali, 1986). Dengan latar belakang pemahaman serupa inilah kitab Wulangreh yang dibuat oleh Paku Buwana IV, narendra Surakarta harus kita hayati dengan seksama. Wulangreh merupakan salah satu percikan semangat ke kraton dan gambaran pemikiran narendra tentang masalah – masalah politik pemerintahan serta kekuasaan yang tidak terlepas dengan pandangan umum di atas.
C. SERAT PIWULANG
Hasil karyanya dalam bidang kesusasteraan di antaranya : Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskitha, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana Prabu, dan Serat Pola Muna – Muni. Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Jawa namanya harum sekali (Darusuprapta, 1982 : 14).
Serat Wulangreh sampai saat ini sangat popular di lingkungan kebudayaan Jawa. Orang jawa sangat memperhatikan ajaran – ajaran dalam Serat Wulangreh itu untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari – hari. Ketajaman moral dan intelektual diperlukan agar manusia tepat dalam meniti karier hidup.
Kriteria guru yang baik menurut Paku Buwana IV disampaikan dalam Serat Wulangreh. Paku Buwana IV menganjurkan agar seseorang mencari guru yang mempunyai kejelasan asal – usul, baik martabatnya, tahu hokum, beribadah, bersahaja, pertapa, ikhlas, dan tanpa pamrih terhadap pemberian orang lain.
Sebagaimana yang diketahui, kitab yang selesai ditulis pada hari Ahad (Minggu) tanggal 19 Besar 1735 tahun Dal Windu Sancaya Wuku Sungsang atau tahun 1808 Masehi ini, pada mulanya merupakan serat wewelar (pedoman/penuntun) bagi para pangeran dalam bentuk Sekar Macapat atau nyanyian yang dimasukkan dalam rumpun Macapat (Fachry Ali, 1986). Sesuai dengan tujuan kitab ini sebagai penuntun, maka sesungguhnya kitab Wulangreh ini bisa kita pahamai sebagai sebuah “ ideology kraton “ yang lahir dari pengalaman – pengalaman pemikiran dan pemahaman seperti telah kita diskusikan di atas. Kebutuhan untuk mempertahankan ideology tersebut tampaknya sangat jelas terkait dengan situasi – situasi kekuasaan pada masa itu. Kita ketahui bahwa pada masa buku atau kitab ini ditulis, kesatuan, dan keutuhan kekuasaan Jawa sudah hampir berakhir.
D. MENGUTAMAKAN BUDI PEKERTI
Sebuah upaya – upaya pembaharuan, bisa saja dimulai dengan niat atau hasil yang baik. Akan tetapi, seperti ungkapan dikutip di atas menyatakan, belum tentu akan berakhir dengan kebaikan pula. Juga, sesuai dengan logikanya, hal – hal yang sebelumnya dirasakan menyesakkan seperti keharusan untuk mengikuti seluruh ketentuan yang telah ditetapkan oleh traidisi bisa akan berakhir dengan baik. Dan esensi dari semua ini adalah pengabdian dan kepatuhan yang tulus terhadap tata nilai yang telah berlaku, pada mana konsep kebaktian merupakan inti dari kerangka tersebut (Fachry Ali, 1986). Mungkin, dalam perpektif yang semacam inilah, kita akan bisa meletakkan apresiasi yang proporsional terhadap kitab Wulangreh yang lahir dua abad lampau. Dan sebagaimana telah dikatakan, kitab ini pada dasarnya berbentuk pantun atau syair.
Serat Wulangreh juga mengajarkan bahwa orang yang mengajarkan ilmu hendaknya juga berlandaskan dalil, hadis, ijma dan qiyas. Hal ini tentunya sesuai dengan tradisi yang diajarkan oleh pendidikan agama. Kalau tidak ada kaitannya dengan keempat landasan tersebut, maka pengetahuan yang diajarkan itu bisa terjerumus ke jurang kesesatan.
Kedaulatan Sunan di Surakarta sejak tahun 1749 boleh dikatakan sudah hilang. Pengaruh system administrasi kolonial Belanda semakin menguasai kehidupan politik Kasunanan Surakarta. Semua kegiatan Sunan harus mendapatkan persetujuan Kompeni, baik melalui Gubernur maupun Residen. Kawula dalem Kasunan Surakarta mempunyai dua majikan, yakni Belanda dan Sunan sendiri. System kontrak perjanjian yang diawali oleh Sunan Amangkurat I makin dimantapkan. System ini bukan merupakan simbiosis mutalistis, melainkan simbiosis parasitis. Setiap kali diadakan perjanjian terjadilah pula pengurangan kedaulatan di pihak Sunan. Kerajaan yang semula utuh meliputi Kutagara, Negara Agung, dan Mancanegara semakin dipersempit, khususnya terhadap daerah Mancanegara dan Negara Agung (Mulyanto, dkk, 1990).
E. SARJANA MARTAPI
Untung bahwa masyarakat di kampong – kampong masih mampu berswadaya dalam memelihara bahasa dan budaya Jawa, khususnya dalam peristiwa tradisional seperti : pernikahan, khitanan, sripah, atau kematian bahwa juga dalam waktu – waktu saresehan, arisan, kerja bakti yang selalu melibatkan warga atau panitia untuk memimpinnya, dan berbicara atau memberi pengumuman. Dalam komunikasi sering juga dipergunakan Bahasa Jawa di samping Bahasa Indonesia, bahkan kualitas bahasanya daripada di jalur normal SD – SMU. Mereka bekerja secara swasembada, tradisional, gotong royong, tanpa biaya yang berarti. Suatu kegiatan dan sumbangsih yang sangat dibanggakan (T. Hadiwirjanto, 2002).
Telah berlalu masa 12 abad, sebelum kedatangan “Islam”, yakni masa ketika Manusia Jawa belajar tentang kearifan hidup dari Hinduisme dan Buddhisme, tanpa kehilangan jati diri mereka. Yang demikian itu nampak dari bekas – bekas karya besar peninggalan mereka, yakni Candi Prambanan dan Borobudur. Ketika “ Islam “ dating, terjadilah goncangan wawasan kosmologis, sebagaimana nampak melalui moksanya Sabdo Palon, yang kelak akan datang lagi setelah masa 5 abad. Di dalam Serat Lambang Praja karya M. Ng. Mangunwijaya, masa kembalinya keseimbangan kosmologis tadi adalah juga masa kedatangan Ratu Adil, paksa Gara – gara dengan fenomena yang sangat menarik, yakni : Dangkalnya makna ajaran / aliran (kali ilang kedhunge), hilangnya gema ekonomis / berdagang di pasar (kadang) orang, serta kaum perempuan kehilangan harkat keempuannya (Damardjati Soepadjar, 2002).
BAB II
AJARAN HIDUP SERAT WULANGREH
A. MEMAHAMI RAHASIA HIDUP
Serat Wulangreh ini mengurai kata hati, hendak meniru kepintaran pujangga. Namun ternyata mental masih muda, namun nafsu ingin dipuji, tak tahu banyak mentertawai. Maksa harus menggubah dengan bahasa lepas landas, tutur nan ditandingsaring. Tekun sabar mampu memadu agar gambaran hati menjadi cerah. Rahasia hidup ini sungguh susah, bila tak tahu, tak pantas dikata hidup, banyak nan mengaku dirinya paling baik, padahal belum mengenal rasa, rasa nan sejati, rasa sumbernya rasa, carilah agar sempurna, bagi hidupmu juga.
Di dalam Qur’an tempatnya sungguh, hanya insane terpilih nan pintar, selain dengan petunjukNya, tidak boleh sembarangan. Akhirnya takkan jumpa, makin tidak karuan, akhirnya tersesat bingung. Jeli, sempurnanya badan anda, pergilah berguru. Tapi bila Engkau berguru, carilah orang yang benar – benar, baik martabatnya dan mengerti hokum, yang beribadah suka tirakat, syukur mendapat petaka yang bertawakal, tak memikir pemberian orang. Kepadanyalah kau pantas berguru, demi meningkatkan ilmu.
B. MEMPERTAJAM MATA BATIN
Latihlah dirimu agar budimu menjadi tajam. Janganlah hanya makan tidur saja. Jadikanlah sebagai tirakatmu, mengurangi makan dan tidur, dan janganlah pesta pora. Lakukanlah seperlunya tak berlebihan, tidak baik sifat pesta pora, akan mengurangi keselamatan batin. Apabila Engkau menjadi orang besar, janganlah Engkau gila hormat, janganlah dekat – dekat dengan pencolong yang buruk perilakunya. Orang muda kebanyakan mengikuti siapa yang menghadapinya, apabila yang menghadapinya banyak yang bangsat, tak pelak mereka akan menjadi jahat.
C. MENGHINDARI SIKAP SOMBONG
Tingkah laku yang berlebihan tanpa peduli, disbanding – disaring – dikekeng, sudah terlambat digugat, kiat sembarangan pangkal celaka. Jangan sampai terlanjur, sembarang ulah yang tidak jujur, kalau kebablasan umat celaka tidak baik, hendaknya mencari petuah yang benar. Ada ungkapan : adiguna adigang adigung, yang adigang adalah kijang, adigung itu gajah, adiguna adalah ular, ketiganya mati bersama.
D. KEWAJIBAN ORANG HIDUP
Baik dan buruk pantas Engkau ketahui adat kebiasaan supaya diperhatikan, sopan santun harap dipelajari siang malam. Yang buruk dengan yang baik, serta kecenderungannya sedikit jangan dilupakan, itu sarana yang benar tak boleh ditinggalkan.
Apabila ada manusia yang tak memperhatikan yang buruk dan yang baik itu tak pantas berkumpul dengan orang banyak. Orang pemberani itu bertingkah pola, tak tahu adapt, jangan didekati, jangan membahayakan. Watak manusia memang dapat dilihat dari gaya jalan duduknya, gaya tutur dan lagak bicaranya, semua itu pertanda yang pintar dan yang bodoh, yang tinggi dan yang rendah, yang miskin dan yang kaya.
E. BERBAKTI ORANG TUA
Walaupun dari ayah ibu, kakek nenek, saudara, dan kerabat, kalau petuah tidak baik, tidaklah layak diikuti. Memang demikianlah watak itu. Meski orang tua kalau wataknya tak baik, tidak pantas diturut. Janganlah Engkau sekalian meniru perbuatan yang tak baik. Walaupun orang lain, kalau tutur katanya baik dan perbuatannya baik. Itu panas Engkau sekalian tiru, Nak, dan Bapak Ibu yang mempetuahi baik, hendaklah Engkau sekalian indahkan.
Anak yang tidak menurut nasihat orang tua, itu durhaka baik di dunia maupun di akhirat, akibatnya akan terbentur – bentur (celaka). Kepada semua anak cucu kelak, hendaklah berhati – hati, janganlah berani kepada ayah dan ibu. Ada pula bilangannya, Nak, lima limba sembahan yang akan diterangkan satu persatu sebagai berikut, Pertama, kepada ayah bunda, Kedua, kepada mertua suami – istri, Ketiga, kepada saudara tua, Keempat, kepada guru sejati, sembah Kelima, kepada Tuhan.
F. MENGABDI PADA RAJA
Apabila Engkau mengabdi pada narendra lebih sulit, tidak boleh bimbang ragu harus mantap serta tunduk patuh kepada gusti, harus menurut seperintahnya. Sungguh narendra sebagai Wakil Yang Maha Kuasa, memerintah, menghukum, mengadili, sebab harus dituruti. Siapa yang tidak mengindahkan perintah sang Raja, berarti menentang kehendak Tuhan, sebab itu hai manusia, siapa hendak mengabdi kepada Raja, harus ikhlas lahir batin, jangan sampai mendapat kesukaran.
BAB III
MENCAPAI KESELERASAN HIDUP
A. MENGURANGI MAKAN TIDUR
Ada tiga macam lamaran, tapi yang terbesar dan ini dimaksud yang tiga perkara, janganlah memuji – muji, dan janganlah mencela benci. Dan janganlah mencela sembarang karya, dikit – dikit mencacat setiap perbuatan, tak sempat orang lewat. Dimasa saat ini agaknya biasa orang pintar mencela. Hanya perbuatan sendiri luput dari cemoohan, merasa benar sendiri, walaupun benar, kalau yang berbuat orang lain pasti dikatakan salah, itu umumnya, memakai benarnya sendiri.
B. MENINGKATKAN CIPTA RASA
Sebaiknya Engkau sekalian meningkatkan cipta rasa, upayakanlah lebih berhati – hati, jangan bisa bicara, kalau tak layak meski hanya sepatah kata. Harus cari waktu juga, tempat yang menyenangkan, dan janganlah tergesa – gesa bicara sebelum benar – benar jangan cepat – cepat mengucap kalau belum cocok dengan teman.
Dan lagi manusia itu jangan banyak bersumpah, itu mengotori badannya. Tapi manusia saat ini tidak hitung perkara, sumpahnya menjadi hari. Hendaklah berhemat bibir, jangan memperbanyak makian, ngomel – ngomel, malah ngobral keburukan orang.
Bikin salah menggunjing orang yang sama – sama melihat. Walaupun suaminya rela, yang mendengar ada yang menegur dalam batin tak percaya. Dalam batin ditanami rusak dalam hati banyak yang berjaga – jaga, jarang yang percaya batinnya, dalam hati memang kurang kepercayaan kepada majikan.
C. HIDUP RUKUN
Bersaudara itu walaupun sanak (bukan saudara dekat) hendaklah bersatu, jangan sampai retak. Apabila dalam segala aktivitas bersatu (rukun) dilihat akan baik. Berat ringan mempunyai sanak saudara, ringan apabila berpisah fakir tak jadi bersatu, berat bila saling membantu kehendak. Lebih berbobot orang – orang yang bersanak saudara.
Memang sulit ditakdirkan jadi tua, tidak boleh mempermudah semua saudara, tua muda, jangan dibedakan dalam melakukan pekerjaan. Yang rajin dan yang malas, baik Engkau ketahui, pujilah yang baik, sedang yang malas berilah peringatan.
D. SATRIA BERBUDI MULIA
Orang yang bersyukur sebagai titah Allah bernasib buruk, dan ia menerima nasib buruknya itu, kemudian ia bisa dijadikan orang baik, sebaik – baik orang yang bersyukur itu. Seperti misalnya, orang yang mengabdi melamar kepada Raja, lama kelamaan kesampaian juga tujuannya (terkabul doa / permohonannya) menjadi “ mantri “ atau “ bupati “ dan lain – lain yang sesuai dengan idaman hatinya.
E. MELAKSANAKAN PERINTAH SYARIAT
Sebaiknya Engkau sekalian melaksanakan semua perintah syariat, teruskan lahir batin, salah lima waktu, tak boleh ditinggalkan, sapa yang meninggalkannya akan merugi apabila Engkau sekalian masih suka hidup di dunia.
Manusia tanpa budi sungguh satria tak tahu abab (tata karma) mengandalkan satrianya, apabila ingin dihormati pakailah jajaran (kembaran), tapai kalau pergi menyamar jangan kamu suruh orang berjongkok. Hendaklah Engkau sekalian ingat nanda.
F. MENGIKUTI KEMAJUAN JAMAN
Hati orang yang sudah tak mampu membendung kemajuan jaman, di mana karya dan ilmu bebas berpacu, gerak langkahnya harus disembunyikan. Jangan bodohnya diperlihatkan, agar menjadi sasaran hinaan. Suka gembira ia dihina oleh sesama. Saya pribadi pun tidak demikian, kebodohanlah yang saya tutup, kepintaran kutaruh dimuka, malulah kalau dikata bodoh oleh orang banyak, tetapi memang sebenarnya memang dungu, tak pelak merasa dan memang pintar berkicau.
G. FATWA PADA PUTRA WAYAH
Putra wayah harap indahkan fatwa petuah ayahmu, jangan ada yang lengah, terhadap ajaran orang tua, lahir batin pakailah petuah ayah, kuatkan hati kalian, teguhkan dalam nubari. Jangan ada yang kurang terima, dalam kepastian hidupmu, bahwasannya itu pemberian Tuhan, yang menciptakanmu dan waspada juga, asor luhur (kedudukan rendah tinggi), sehat sakit, dan bahagia celaka, hidup dan mati.
Yang sudah mengerti hikmah kitab, supaya Engkau sekalian mengetahui wajib dan jaisnya Tuhan dan wajib bagi hamba, serta mokalnya harap segera dipelajari, juga tata karma dan serengat juga dipelajari, dan batim haram tanyakan. Sunat dan wajib itu sarana sehari – hari, sebab itu supaya jelas, pertanyaan andapun harus jelas, sebab itu supaya jelas, pertanyaan andapun harus jelas, jangan bosan berkumpul bercakap – cakap dengan para ulama, dan orang – orang yang sudah dalam ilmunya ke Tuhanan.
BAB IV
FILSAFAT HIDUP SERAT WULANGREH
A. PAMEDHARING WASITANING ATI
DHANDANGGULA
“ Pamedharing wasitaning ati, cumethaka atiru pujangga, dahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung, datan weruh yen keh kang ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, tutur kang katula – katula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita “.
B. PADA GULANGEN ING KALBU
KINANTHI
“ Pada gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, adja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi, pesunen sariranira sudanen nadhah lan guling “.
C. SEKAR GAMBUH ING CATUR
“ Sekar gambur ping catur, kang cinatur polah kang kelantur, tanpa tutur katula – tula katli, kadalu warsa katutuh, kapatuh pan dadi ewoh “.
D. LELABUHAN KANGGO WONG NGAURIP
PANGKUR
“ Kang sekar pangkur winarna, lelabuhan kang kanggo wong ngaurip, ala lan becik punika, prayugo kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ta ing tata karma, den kaesthi siyang latri “.
E. WEWURUK WATEKAN BECIK
MASKUMAMBANG
“ Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur, myang sanak, kalamun wuruk tan becik nora pantes yen den nut a “.
F. WONG NGAWULA ING RATU
MEGATRUH
“ Wong ngawula ing Ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang – minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang gusti, dipun piturut sapakon “.
BAB V
ETIKA PEMERINTAHAN
SERAT WULANGREH
A. CEGAH DAHAR DAN GULING
DURMA
“ Dipun sami amanting sariranira, cegah dahar lan guling, daraponsudaa, nefsu kang ngamra – ambra, rerema ing ing tya sireki, dadi sabarang prakaranira urip “.
B. DEN SAMYA MARSUDENG BUDI
WIRANGRONG
“ Den samya marsudeng budi, weweka dipun waspaos, aja dumeh sira bisa muwus, yen datan matetesi, sanadyan among sakecap, yen tan pantes pernahira “.
C. LUWIH BOBOT WONG DUWE SANAK SADULUR
PUCUNG
“ Kamulane kaluwak nonomanipun, pan dadi satunggal, pucung arane anenggih, yen wis tuwa kaluwake pisah – pisah “.
D. ANTENG JATMIKA ING BUDI
MIJIL
“ Poma padha dipun enget kaki, ing pitutur ingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, ruruh sarta wasis, samubarangipun “.
E. NETEPI PARENTAHING SYARIAT
ASMARADANA
“ Padha netepana ugi, kabeh parentahing syariat, terusna lahir batine, salat limang wektu uga, tan kena atinggala, sapa tinggal dadi gabug, yen maksih remen neng praja “.
F. TAN NGENDHAK GUNANING JALMI
SINOM
“ Ambeke kang wus utama, tan ngendhak gunaning jalmi, lan maguna ing aguna, sasolahe kudu bathi, pintere denalingi, dodhone dineke ngayun, pamrihe den inaa, mring sasepadhaning jalmi, suka bungah den ina sapadha – padha “.
G. WEJANGAN KAGEM PUTRA WAYAH
GIRISA
“ Anak putu den estokna, warah wuruhe si bapa, ajana ingkang sembrana, barang wuruke wong tuwa, ing lair batine bisa, anganggo wuruking bapa, ing tyas den padha santosa, tegehena jroning nala “.
BAB VI
WARISAN LUHUR KRATON SURAKARTA
A. MAKNA SIMBOLIK KRATON
Kraton bagi orang Jawa mempunyai makna yang sangat dalam. Orang Jawa menganggap Kraton sebagai pusat kosmos. Mengungkap permasalahan kehidupan kraton tidak dapat dipisahkan dari persoalan sumber legitimasi kekuasaan raja.
Suatu cerminan hubungan patron – client relation ship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling kawula Gusti. Konsep seperti itu akan selalu muncul saat mencoba melihat kerajaan Jawa, sebagai konsep lama yang mengacu pada masa kekuasaan dinasti Mataram. Ratu binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuyah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah.
B. PENENTUAN IBUKOTA KRATON
Ahli kebatinan terlibat aktif dalam menentukan ibukota kraton. Setelah Paku Buwono I meninggal pada tahun 1719, pecah lagi perebutan tahta di antara anggota keluarganya yang menentang penggantinya yakni Sunan Prabu. Kesempatan ini pun dipergunakan oleh VOC untuk menanamkan kekuasaannya di Mataram. Belanda mengirim pasukan militer ke Kartasura dan menumpas para penentang Sunan.
Perlawanan terhadap kekuasaan Belanda belum padam. Pada tahun 1970 pecah keributan antara orang Tionghoa dengan Belanda yang menjalar dari Batavia ke Jawa Tengah. Di Batavia, lebih dari 10.000 orang Tionghoa mati terbunuh oleh Belanda. Akibat peristiwa itu, Kraton Mataram yang beribukota di Kartasura mengalami kekacauan. Paku Buwono II tidak dapat mengatasi kerusuhan yang timbul akibat adanya aliansi antara elit bangsawan oposan dengan para pengusaha Cina. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan Geger Pecinan.
C. NUANSA MAGIS BANGUNAN KRATON
Suluk budhalan di atas banyak mengungkapkan estetika keprajuritan. Barisan prajurit yang gegap gempita perlu ada kostum busana yang indah. Keindahan busana yang gemerlapan itu diibaratkan dengan matahari terbit dari samudra. Sinar matahari yang hendak menerangi alam raya itu mengenai puncak gunung – gunung. Warna kemerah – merahan akibat cahaya sang surya berbauran dengan mega.
D. UPACARA PASEWAKAN AGUNG
Pada jaman Sinuwun Paku Buwana IV, yaitu cara memajukan diri tidak seperti jaman saat ini yang banyak didirikan sekolah – sekolah. Pada waktu itu orang harus mencari guru, dan biasanya disebut ngelmu, jadi bukan ilmu. Perbedaan ilmu dan ngelmu, sebenarnya terletak pada unsur dasarnya. Bersifat rasional dan irasional.
BAB VII
SABDA PANDHITA RATU
SATUNYA KATA DAN PERBUATAN
A. KONSEP PANDHITA RATU
Konsep Pandhita Ratu menempati posisi yang penting dalam kebudayaan Jawa. Kraton Surakarta telah melahirkan para narendra yang aktif sekali dalam mengembangkan sastra dan budaya. Bahkan narendra sendiri terjun langsung dalam dunia karang mengarang.
B. DARI KARTASURA KE SURAKARTA
Deduga lawan payoga (ukuran – ukuran kemungkinan atau pengkira – kiraan dan penyeyogyaan). Setiap perbuatan dan tingkah laku janganlah terlepas dari duga dan prayoga. Duga artinya pengiraan yang berdasarkan ukuran, jadi bukan kepastian.
C. PENERAPAN KONSEP SATRIA PINANDHITA
Menurut Paku Buwana IV, di dunia ini terdapat urut – urutan kebaktian bagi orang hidup yang terdiri dari : kepada ayah dan ibu, kepada ayah dan ibu mertua, kepada saudara tua, kepada guru sejati, kepada gustinya.
D. GELAR NARENDRA MINULYA
Gelar narendra Minulya dalam sejarah diperuntukkan buat Sinuwun Paku Buwana IX dan Sinuwun Paku Buwana X. Paku Buwana IX adalah putra kelima Paku Buwana VI. Ibunya bernama GKR Hemas. Ketika lahir, Paku Buwana VI sudah diasingkan ke Ambon, sebab terlibat mendukung perjuangan Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar