Senin, 05 Desember 2011

PRAGMATIK

1.      Definisi Pragmatik
            Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.


2.      Perkembangan Pragmatik

            Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.
Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).


3.      Aspek-aspek Pragmatik

 Humor seperti dijelaskan sebelumnya, sangat berkait dengan konteks situasi tutur yang mendukungnya, oleh karena itu, dalam mengkajinya perlu dipertimbangkan beberapa aspek situasi tutur seperti di bawah ini.

a.       Penutur dan lawan tutur
     Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

b.      Konteks tuturan
     Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.

c.       Tujuan tuturan
     Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.

d.      Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur                
     Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar. Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.

e.       Tuturan sebagai produk tindak verbal
     Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya. (Leech, 1993:19)

f.       Presuposisi, Implikatur, dan Entailment
     Lubis (1991:59) mengatakan bahwa yang disebut presuposisi (praanggapan) adalah hakikat rujukan yang dirujuk oleh kata atau frasa atau kalimat. Maksudnya kalau ada suatu pernyataan, maka selalu ada presuposisi bahwa nama-nama (atau kata benda) yang dipakai baik secara sederhana maupun majemuk mempunyai suatu rujukan.
     Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.


Teori Tindak Tutur

Tindak tutur dilakukan setiap orang sejak bangun pagi sampai tidur kembali. Ribuan kalimat telah diucapkan selama 16 atau 18 jam setiap hari. Tidak pernah dipikirkan bagaimana terjadinya kalimat-kalimat yang diucapkan, kenapa kalimat tertentu diucapkan, bagaimana kalimat itu dapat diterima lawan tutur dan bagaimana lawan tutur mengolah kalimat-kalimat itu kemudian memberikan jawaban terhadap rangsangan yang diberikan, sehingga dengan demikian dapat berdialog berjam-jam lamanya. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi (Wijana, 1996:17).

1)   Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of saying something. Dalam tindak lokusi, tuturan dilakukan hanya untuk menyatakan sesuatu tanpa ada tendensi atau tujuan yang lain, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi relatif mudah untuk diindentifikasikan dalam tuturan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Parker melalui Wijana, 1996:18). Dalam kajian pragmatik, tindak lokusi ini tidak begitu berperan untuk memahami suatu tuturan.

2)   Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi ialah tindak tutur yang tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan sesuatu namun juga untuk melakukan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai  The act of doing something. Contoh, kalimat ‘Saya tidak dapat datang’ bila diucapkan kepada teman yang baru saja merayakan pesta pernikahannya tidak saja berfungsi untuk menyatakan bahwa dia tidak dapat menghadiri pesta tersebut, tetapi juga berfungsi untuk melakukan sesuatu untuk meminta maaf. Tindak ilokusi sangat sukar dikenali bila tidak memperhatikan terlebih dahulu siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

Searle dalam Leech (1993:164-166) membagi tindak ilokusi ini menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.
a.   Tindak asertif merupakan tindak yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, artinya tindak tutur ini mengikat penuturnya pada kebenaran atas apa yang dituturkannya (seperti menyatakan, mengusulkan, melaporkan)
b.   Tindak komisif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong penutur melakukan sesuatu. Ilokusi ini berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan lawan tuturnya (seperti menjanjikan, menawarkan, dan sebagainya)
c.   Tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong lawan tutur melakukan sesuatu. Pada dasarnya, ilokusi ini bisa memerintah lawan tutur melakukan sesuatu tindakan baik verbal maupun nonverbal (seperti memohon, menuntut, memesan, menasihati)
d.   Tindak ekspresif merupakan tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap lawan tutur (seperti mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam)
e.   Tindak deklaratif ialah tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur yang lain atau tindak tutur sebelumnya. Dengan kata lain, tindak deklaratif ini dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal, status, keadaan yang baru (seperti memutuskan, melarang, mengijinkan).
            Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman terhadap tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.

3)   Tindak Perlokusi (perlocutionary act)
            Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat (Nababan dalam Lubis, 1999:9). Tuturan ini disebut sebagaiThe act of affecting someone. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan perlokusi. Tindak perlokusi ini biasa ditemui pada wacana iklan. Sebab wacana iklan meskipun secara sepintas merupakan berita tetapi bila diamati lebih jauh daya ilokusi dan perlokusinya sangat besar.

3.   Maksim-maksim Percakapan Grice
            Salah satu kaidah berbahasa adalah seorang penutur harus selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami sehingga lawan tuturnya dapat memahami maksud tuturan. Demikian pula dengan lawan tutur, ia harus memberikan jawaban atau respons dengan apa yang dituturkan oleh penutur. Bila keduanya tidak ada saling pengertian maka tidak akan terjadi komunikasi yang baik. Oleh sebab itu diperlukan semacam kerja sama antara penutur dengan lawan tutur agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.
           
            Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance) dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Wijana 1996:46).

1)      Maksim Kuantitas
            Maksim ini mengharapkan agar peserta tutur memberikan respons atau jawaban secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur saja. Contohnya ketika seseorang ditanya siapa namanya, maka dia tidak perlu memberikan jawaban selain informasi tentang namanya, seperti alamat, status, dan lain sebagainya.

2)      Maksim Kualitas
            Maksim percakapan ini mengharuskan setiap partisipan komunikasi mengatakan hal yang sebenarnya. Artinya jawaban atau respons hendaknya didasarkan pada bukti yang memadai. Contohnya ketika seorang murid ditanya gurunya apa ibukota Jepang, maka dia kalau memang tahu harus menjawab Tokyo, karena hal tersebut tidak terbantahkan lagi. Namun bisa saja terjadi kesengajaan, seorang penutur melanggar maksim kualitas ini. Hal ini tentu mempunyai maksud seperti menimbulkan efek lucu (Wijana, 1996:49).

3)      Maksim Relevansi
            Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta tutur memberikan kontribusi relevan dengan pokok pembicaraan. Maksim relevansi menekankan keterkaitan isi tuturan antar peserta percakapan. Setiap peserta percakapan saling memberikan kontribusi yang relevan dengan topik pembicaraan sehingga tujuan percakapan dapat tercapai secara efektif. Namun terkadang secara tersurat (eksplisit) respons yang diberikan tidak terlihat relevansinya dengan pokok pembicaraan, karena sudah ada latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan. Dengan kata lain, yang tersurat (eksplisit) nampak tidak relevan namun, yang tersirat (implisit) sebenarnya relevan.

4)      Maksim Pelaksanaan atau Maksim Cara
            Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, secara runtut dan tidak berlebih-lebihan. Bila hal ini dilanggar, biasanya penutur mempunyai tujuan tertentu, misalnya mengelabuhi, menimbulkan efek lucu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar