PENDAHULUAN
Folklor
Definisi Brunvand (1968:5) tentang folklor adalah “Folklore may be defined as those materials in culture that circulate traditionally among members of any group in different versions wether in oral or by means of customary example”. Oleh James Danandjaja (2002:2) dijabarkan bahwa folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Folklore: adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun tetapi tidak dibukukan (Kabus Besar Bahasa Indonesia, 2003).
Folklore (Ing.): dongeng , cerita rakyat, peribahasa yang beredar di antara berbagai lapisan rakyat; biasanya bersifat anonim, lisan, dan yang berdasarkan tema yang telah merata. Di samping itu ekspresi dan benda-benda kesenian serta kerajinan yang bersangkutan dengan bahan-bahan tersebut, biasanya digolongkan juga kedalam bahan folklore (Ensiklopedi Indonesia).
Penggolongan folklor menurut Jan Harold Brunvand (1968:2-3) membagi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore).
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Genre folklor lisan antara lain: bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Salah satu bentuk bahasa rakyat adalah logat (dialek). Menurut Mario Pie (1971) suatu dialek merupakan bahasa yang karena sebab khusus misalnya menjadi bentuk bicara dari suatu daerah dan telah memiliki kedudukan istimewa di daerah tersebut. Penyebab lainnya bisa berupa pengaruh timbal-balik antara bahasa dan dinamika masyarakat, antara bahasa dan mobilitas bangsa, variasi bahasa secara regional, sosial, secara etnis dan fungsional. Sedangkan ungkapan tradisional menurut anggapan Bertrand Russel adalah kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seorang (the wisdom of many, the wit of one). Dalam kebudayaan Jawa, ungkapan tradisional dapat berupa paribasan, bebasan, saloka, maupun isbat.
Genre lain folklore lisan adalah cerita rakyat. Sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan sebagai milik bersama. Sastra daerah memperlihatkan gambaran yang baik dari masyarakat pendukungnya. Sastra daerah tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan tetapi juga mengungkapkan pula masyarakat secara lebih mendalam. Disana terekspresi segala aktivitas yang merupakan sarana peningkatan aktivitas, imajinasi, dan intelektual masyarakat daerah dan sekaligus sebagai alat kritik sosial budaya untuk menghindarkan atau menghapuskan mental yang menghambat pembangunan, kepicikan, ketertutupan, feodalisme, dan lain sebagainya (Hutagalung, 1978:6)
Sastra daerah ini bersifat lisan atau disebarkan dari mulut ke mulut. Ia merupakan institusi dan kreasi sosial yang menggunakan bahasa sebagai media, seperti dikatakan Robson (dalam Udin, 1984/ 1985:21) bahwa tradisi lisan bukan hanya hasil ide satu orang, tetapi mungkin berasal dari masyarakat yang diangkat oleh seseorang berkat ketajaman penghayatannya. Tradisi lisan memegang peran aktif untuk jangka waktu yang lama sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman bagi orang banyak. Tradisi itu begitu kuat pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga di samping memberikan pikiran juga membentuk norma pada orang sezamannya serta untuk mereka yang menyusul kemudian.
Cerita rakyat adalah cerita prosa rakyat, yang menurut William R. Bascom (Dalam Dananjaja, 1984:19), dibagi dalam tiga golongan besar , yaitu
1. Mite : cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa, peristiwanya terjadi didunia lain atau didunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi dimasa lampau.
2. Legenda : cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci. Ditokohi oleh manusia, walaupun adakalanya bersifat luar biasa dan sering kali dibantu oleh makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya dunia yang kita kenal ini.
3. Dongeng : Prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita serta tidak mengenal waktu dan tempat.
Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan bagi penutur dan pengembangnya, melainkan juga sebagai alat pencerminan sikap, pandangan dan angan-angan kelompok, alat pendidikan anak, alat pengesahan piñata dan lembaga kebudayaan serta alat pemelihara norma-norma masyarakat. Dalam masyarakat yang sedang membangun seperti halnya Indonesia, berbagai bentuk kebudayaan lama, termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan sehingga dikhawatirkan lama-lama akan hilang tanpa bekas atau berbagai unsurnya yang asli sudah tidak dapat dikenal lagi.
Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brunvand, 1968:130). Makna tradisi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Sedangkan tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun.
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor setengah lisan antara lain permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, upacara adat. Berhubung nyanyian rakyat terdiri dari dua unsure yang penting yakni lirik dan lagu, maka sudah tentu dalam kenyataanya dapat saj terjadi bahwa salah satu unsurnya akan lebih menonjol daripada unsure yang lain. Oleh karenanya maka ada nyanyian rakyat yang liriknya jika dibandingkan dengan lagunya tidak penting atau sebaliknya, yang lebih dipentingkan dengan liriknya.
Permainan rakyat di dunia ini, untuk orang dewasa maupun untuk kanak-kanak biasanya berdasar gerak tubuh seperti lari dan lompat atau berdasarkan kegiatan social sederhana, seperti kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian dan berkelahi-kelahian atau berdasarkan matematika dasar atau kecekatan tangan seperti menghitung dan melempar batu kesuatu lubang tertentu atau berdasarkan keadaan untung-untungan, seperti main dadu. Berdasarkan perbedaan sifat permainan, maaka permainan rakyat dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu permainan untuk bermain dan permainan untuk bertanding. Perbedaan permainan bermain dan perbedaan permainan bertanding adalah bahwa yang pertama lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang untuk rekreasi, sedangkan yang kedua bersifat kurang mempunyai sifat itu. Namun, yang kedua hampir selalu mempunyai sifat khusus, seperti:
- Terorganisasi
- Perlombaan
- Harus dimainkan paling sedikit oleh dua orang peserta
- Mempunyai criteria uyang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah
- Mempunyai peraturan yang telah diterima bersama oleh para pesertanya.
Selanjutnya permainan bertanding dapat pula dibagi lagi ke dalam
- Permainan bertanding yang bersifat ketrampilan fisik
- Permainan bertanding yang bersifat siasat
- Permainan bertanding yang bersifat untung-untungan
Teori perubahan eksternal rupanya memang sangat cocok untuk menelusuri sejarah dan perkembangan seni pertunjukan Indonesia.
Curt Sach dalam bukunya History of the Dance (1963) mengutarakan bahwa ada dua fungsi utama dari tari, yaitu
- Untuk tujuan-tujuan magis
- Sebagai tontonan
Gertude Prokosch Kurath dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Panorama of Dance Ethnologi” (1960) secara rinci mengutarakan ada 14 fungsi tari dalam kehidupan manusia, yaitu:
- Untuk inisiasi kedewasaan
- Percintaan
- Persahabatan
- Perkawinan
- Pekerjaan
- Pertanian
- Perbintangan
- Perburuan
- Menirukan binatang
- Menirukan perang
- Penyembuhan
- Kematian
- Kerasukan
- Lawakan
Anthony V Shay dalam artikelnya berjudul Tfe Function of Dance in Human Society (1971) menjelaskan hanya ada enam funsi tari saja yang sekarang ini berkembang. Keenam fungsi tersebut adalah
- Sebagai refleksi dari organisasi social
- Sebagai sarana ekspresi untuk ritual, sekuler dan keagamaan
- Sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan
- Sebagai refleksi ungkapan estetis
- Sebagai ungkapan serta pengendoran psikologis
- Sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.
Alan P. Merriam dalam bukunya The Anthology of Music (1964 dan 1987) yang menggeluti musik etnis mengatakan ada 10 fungsi penting dalam musik etnis, yaitu :
1. Sebagai ekspresi emosional
2. Kenikmatan estetis
3. Hiburan
4. Komunikasi
5. Representasi simbolis
6. Pengesahan institusi-institusi social dan ritual-ritual
7. Respon fisik
8. Memperkuat konformitas norma-norma social
9. Sumbangan pada pelestarian dan stabilitas kebudayaan
10. Membangun pula integritas masyarakat
Foklor bukan lisan adalah foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi 2 sub kelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk foklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat: pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi kendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika) dan musik rakyat.
Tentang kemampuan menghasilkan karya seni dari bahan kayu, sudah lama dikuasai oleh para perajin diberbagai daerah di Indonesia. Taylor menulis buku, Beyond The Java Sea, Art of Indonesia’s Outer Island(1992). Buku ini memberikan berbagai informasi tentang desain dekoratif (ornament) yang berkembang diluar Jawa, terutama dalam hubungan dengan pembuatan rumah tinggal, perabot rumah tangga, dan alat-alat keperluan hidup lainnya. Berbagai macam hias yang diterapkan pada kain tenun dan di atas papan untuk diukir, merupakan produk seni yang saling bertautan. Karya seni ornament dari berbagai daerah itu, merupakan bahan pembanding mengenai pencapaian nilai estetika dan keterampilan teknis para perajin dari berbagai daerah di Indonesia.
Makanan dan ketegangan jiwa: makanan tertentu dapat lebih menggambarkan identitas suatu kelompok, daripada benda-benda kebudayaan lainnya, bagi kelompok yang menggunakannya. Hal ini disebapkan karena ia dapat mengembalikan ketenangan orang yang sedang mengalami ketegangan jiwa.
Lingkup Penelitian
Folklor-folklor dalam laporan ini hanya terbatas pada lingkup wilayah Eks. Karesidenan Pati yang meliputi Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Rembang. Daerah ini merupakan sebuah daerah yang memiliki kekhasan budaya yang berbeda dengan lainnya. “Dari daerah pusat yang dibentuk oleh sejarah, yang aktif dan relatif kaya itu, di utara harus dipilahkan kawasan bukit kapur (Gunung Kendeng, pegunungan kapur utara), yang membentang di sebelah barat hingga daerah Blora dan bahkan Purwodadi di Jawa Tengah. Letak daerah ini sangat rendah (400-500 m dari permukaan laut), jarang mendapat hujan, dan pengairannya sulit. Tanaman pangan hidup merana dan kawasan-kawasan yang luas dijadikan perkebunan jati. Penemuan sedikit minyak bumi di daerah Cepu untuk sesaat membangkitkan ilusi tentang kemungkinan sebuah perkembangan” (Denys Lombard, 2005).
Masyarakat di wilayah ini memunculkan hasil budaya pegunungan dan pada akhirnya juga budaya pesisir karena letaknya yang juga berada di pesisir Laut Jawa. Akulturasi budaya Cina di Rembang misalnya, disebabkan karena kedatangan pedagang-pedagang Cina pada zaman dahulu. Sejarah telah mencatat kemajuan-kemajuan daerah ini, bahkan mendahului perkembangan kebudayaan Jawa Tengah bagian pedalaman. Denys Lombard (2005) dalam Nusa Jawa menuliskankan bahwa
“Harus juga disebut penggunaan istilah puhawang untuk “kapten” sebuah kapal dagang, sebelum digantikan kata Parsi nakhkoda. Istilah itu kemudian muncul dalam prasasti lain berbahasa Melayu Kuno, yang kali ini ditemukan di Jawa Tengah, dan dinamakan prasasti Gandasuli I, atau lebih tepatnya prasasti Dang Puhawang Gelis, menurut nama nakhkoda kapal yang disebut di dalamnya (dan yang barang kali merupakan nama pemberinya); dokumen itu berasal dari tahun 827 M (749 Saka)”.
“Akhirnya harus ditekankan betapa pentingnya perubahan sosial yang sedikit demi sedikit terjadi sebagai akibat dari perniagaan besar itu. Di sepanjang pesisir berkembang kota-kota niaga, disertai kemajuan pesat suatu masyarakat dagang yang baru, yang untuk sebagian terbentuk dari unsur-unsur dari luar Jawa”.
“Jepara dan Rembang yang letaknya dekat hutan-hutan jati, terkenal karena galangan-galangan kapalnya. “pedagang yang beruang”, tulis Tome Pires, “datang ke sana untuk dibuatkan jung””.
“Hendaknya dicatat bahwa di Jawa, teknik ukiran kayu bertahan sampai abad ke-20 di daerah-daerah pesisir yang paling dahulu diislamkan…..terutama di daerah Demak, Kudus, dan Jepara”.
Metode Pengumpulan Folklor
Penelitian folklor terdiri dari tiga macam tahap: pengumpulan, penggolongan (pengklasifikasian), dan penganalisaan.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Observasi dengan partisipasi langsung
Teknik ini digunakan untuk mengadakan pengamatan umum secara langsung ke lapangan.
2. Wawancara
Digunakan untuk memperoleh keterangan yang lebih lanjut dan jelas mengenai cerita rakyat, kesenian, dan hal-hal yang timbul atau muncul secara spontan guna melengkapi data folklor yang terkumpul. Wawancara ini lebih banyak menanyakan cerita-cerita, dongeng-dongeng dan hal-hal yang berhubungan dengan cerita rakyat. Semua data yang terkumpul kemudian disusun dan dianalisis.
3. Perekaman
Perekaman digunakan untuk melengkapi data informasi yang diperoleh melalui instrument penelitian. Hasilnya merupakan data dalam bentuk ujaran/lisan dari data yang dimaksudkan tersebut.
# lisan
A. BAHASA RAKYAT (FOLK SPEECH)
Dialek Masyarakat Daerah Eks. Karesidenan Pati
No. | Dialek | Bentuk Baku | Arti |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. | -a ,- lah - nem, -em angkus/ungkus banyu pet benges bento berok- berok beruk bileng blobok buwoh cecet cuwet/ceriwis centhong dhengklang dipecel-pecel gak/ogak gathel gedik gene gledeg gudak keblowok kemenyek kremit cilik lincak lodok lop-lopke luput suwuk mbedig mblarah mbluboh mblurut mendarat/rewang mer-mer miber mlebat ndungu nduwowok, njedhodhot mengkerik nggaya/gaya ngebrak ngenyek nggedamber njembrung linggih plekotho sejinah semplok sicok songkro sugreng sukeren tutuk wancor wekas | to -mu Sabit, sengget Banyu PDAM Gincu edan bengok-bengok cidhuk mumet belek nyumbang cerewet senthong pincang ditugel-tugel ora kurang ajar thuthuk ngapa wadah beras oyak keblasuk menthel tekan cilik ancak lobok bakbuk nakal banget mbeling akeh jor-joran mlorot sinoman sumelang mabur kabur krungu ndhewe malang kerik kemaki kemproh ngece lemu kandel lungguh dipeksa sepuluh sempal siji grobag pasir rungkut ngeres tekan kebablasen meling | Kata penekanan Kamu Sabit yang disambung tongkat panjang air PDAM lipstik gila teriak-teriak gayung pusing kotoran mata kondangan cerewet kamar tidur pincang dipotong-potong tidak kurang ajar pukul kenapa lumbung kejar terperosok merasa cantik sampai kecil Ayaman bambu renggang Longgar/kebesaran impas nakal sekali nakal banyak berlebihan mlorot membantu orang hajatan khawatir terbang terbawa angin dengar berdiam diri berkacak pinggang angkuh jorok menghina gemuk tebal duduk dipaksa sepuluh lepas, patah satu gerobag pasir rimbun terasa kotor sampai keterusan berpesan |
Ada juga perepdusian kata bocah menjadi cah.
Pangkat Atau Gelar
1) Mantri : orang yang memberi obat atau petugas medis
2) Modin : orang yang memimpin doa pada suatu hajatan
3) Bekel atau bayan : sesepuh desa
4) Carik : sekretaris desa
5) Sinder : pengawas hutan
6) Kamitua : bendahara desa
7) Misan : saudara sepupu
8) Ladu : tukang pengairan
Julukan
1) paklik : paman
2) Bulik : bibi atau bibek
3) Budhe : kakak perempuan dari ibu atau bapak
4) Pakdhe : kakak laki-laki dari ibu atau bapak
5) Mamak: emak atau ibu
6) Yu : mbak ayu atau kakak perempuan
7) Ipe : saudara ipar
8) Batheh : masih ada ikatan darah
9) Misan : saudara sepupu
Dialek Masyarakat Pesisir Rembang
No. | Dialek | Bentuk Baku | Arti |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. | mberuh nyarak, along laib kaspo ndongklo alang-alang iprik-iprik cepren mbarik semlohai jembrong intir-intir jumbleng njamu mblidoh nguri songklat ledeng cukil watu dilah mekan mencirit | akeh akeh asil muspra ngapusi sengsara mulung golek kayu kalen ganteng bahenol eneg luwe kakus mabuk mlepuh mburi coklat gepeng cureg lampu urip mencorong | banyak mendapatkan hasil banyak tidak mendapat hasil apa –apa bohong sengsara memulung mencari kayu bakar selokan tampan seksi eneg lapar jamban minim-minuman keras melepuh belakang coklat gepeng kotoran telinga lampu hidup berkilau |
Sebagian Lisan
KETHOPRAK “SISWA BUDAYA”
Sejarah Kethoprak “Siswo Budoyo”
Kelompok kethoprak ini didirikan oleh Ki Anom Sudarsono, penduduk Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Pati lebih dikenal sebagai juragan kethoprak klilingan. Setamat STM, beliau melanjutkan studinya di Akademi Maritim Nasional (1984). Namun, nasib baik belum berpihak padanya. Beliau kemudian beralih profesi menjadi juragan udang.
Setelah menikah, Ki Anom Sudarsono sering melakukan tirakat di makam mertuanya, M. Suparto. Setelah mendapat wangsit itu, Sudarsono mengira dirinya akan berhasil menjadi seorang tokoh yang dihormati serta mendapat kedudukan. Anggapan soal wangsit itu ternyata salah. Tidak hanya itu, usahanya membina kethoprak hingga sempat mendapat peye (tanggapan) dianggap gagal. Karena kegigihannya dan warisan bakat seni dari Sungkono Siyung, orang tuanya, Ki Anom Sudarsono mencoba mendirikan lagi kelompok kethoprak tobong. Untuk mewujudkan tekad itu, dia mengorbankan sebuah ruangan rumahnya untuk latihan sekaligus tobong kethoprak. Sejumlah seniman kethoprak profesional diundang dan diajak bergabung. Mulai tahun 1989, berdirilah sebuah grup kethoprak yang akhirnya cukup diperhitungkan dengan nama Siswo budoyo. “saya bersemboyan, Siswo Budoyo saya adalah kethoprak terbaik se-kabupaten Pati” ujarnya.
Bagi Sudarsono mendirikan kethoprak bukan untuk bisnis. “saya hanya ingin ngurip-urip kesenian kethoprak,” ujarnya. Hal yang menurut Sudarsono menggembirakan dalam usaha mengelola kethoprak adalah dukungan sang istri, Kristina Handayani. Bahkan, dukungan itu tidak hanya dirasakan oleh Sudarsono, tapi juga oleh para pemain yang tegabung dalam grup yang dikelolanya. Sekarang tarifnyapun luar biasa, di daerah Pati tanggapan siang malam (sedino suwengi) tujuh juta lima ratus ribu rupiah, apabila diluar kabupaten Pati sepuluh juta rupiah.
Kekhasan Kethoprak Pati :
1. Lakon-lakon yang sering dimainkan bersumber dari cerita yang secara psikografik lebih familiar dengan masyarakat Pati, seperti Babad Pati, Sejarah Grobogan (Ki Ageng Sela), Jaka Tarub, dsb. Serta, lakon-lakon yang berkiblat cerita zaman Kediri, Singosari, Majapahit, Mataram juga dapat dilakukan. Namun ada juga yang menceritakan pengalaman hidup sipenanggap kethoprak. Lakon cerita bervariasi sesuai dengan permintaan sang penanggap.
2. Dialog antartokoh lebih kental menggunakan dialek Pati daripada dialek Jawa baku (tidak seperti kethoprak Semarangan dan Mataraman).
3. Pelakonan cerita tidak bertele-tele.
4. Rasa pesisiran lebih kentara. Adegan dan dialog cenderung tidak mriyayeni.
5. Bukan hanya kalimat stereotip khas kethoprak yang keluar, tetapi juga adu kepintaran untuk berdalil sesuai Al-Quran dan Hadist.
6. Dalam permainan cenderung mengandalkan dagelan untuk menghadirkan tontonan yang lucu. Siswa Budaya mengunggulkan tokoh lucu Genjik, Klenteng dan Emban Tembel (tokoh pelawak wanita).
7. Sebagai tari pembuka, Siswo Budoyo menciptaka kekhasan dengan Gambyong Tri Tunggal yang terdiri dari lima sampa delapan orang yang berusia tujuh belas sampai dua puluh tahun.
Pementasan:
Pementasan Kethoprak Siswa Budaya tak jauh berbeda dengan kethoprak lainnya. Pementasan biasanya akan semakin sering jika sudah memasuki wulan apit ( bulan dzulko’dah/ bulan setelah syawal) dan ketika mendekati bulan Agustus. Sekarang, pemain kethoprak dapat diambil dari mana saja (Purwodadi misalnya). Pemain-pemain muda harus melalui proses welet/gladhen terlebih dahulu. Maksudnya adalah berlatih dengan yang lebih ahli baik secara langsung maupun tidak langsung. Pelatihan tersebut secara keseluruhan, mulai dari pelakonan, tata busana, maupun tata rias.
Cerita-cerita pementasan digarap oleh Dewan Sutradara. Lakon cerita dapat diambil dari cerita sejarah (misal: Babad Demak), legenda (misal: Sejarah Pati, Sejarah Grobogan, Jaka Tarub), dan cerita carangan/karangan (dari novel).
Jika secara umum orang mengenal istilah bala kepruk biasanya group dari Purwodadi, di Purwodadi sendiri dikenal dengan gagalan, di Rembang dengan istilah kepruk, di Pati disebut dengan istilah gontok. Keunikan Kethoprak Siswa Budaya lainnya adalah dalam pembuatan gambar latar (back ground). Orang-orang menganggap bahwa gambar latar yang dilukis lebih hidup dan teliti dengan memperhatikan bayang-bayang setiap benda yang dilukis. Penggambar/pendekor adalah pak Wiji berumur 78 tahun dari pekalongan. Biaya tenaga/honor membuar lukisan satuannya bisa mencapai tiga juta rupiah, sedangkan biaya bahan pembuat lukisan sekitar dua juta rupiyah, sehingga apabila membuat dekorasi panggung bisa mncapai lima juta rupiyah.
Waktu pementasan dapat disesuaikan dengan permintaan pengundang. Dapat dilakukan pada siang atau malam hari.
Pementasan siang:
1. Dilaksanakan seusai Dhuhur.
2. Lama pementasan lebih pendek.
3. Lakon yang dimainkan lebih pendek. Biasanya mengambil cerita-cerita seperti segmen Babad Pati atau Babad Demak.
4. Kostum yang dipakai lebih tertutup.
5. Tata rias yang digunakan lebih tajam tetapi sederhana.
Pementasan malam:
1. Dilaksanakan antara jam sembilan malam hingga setengah empat pagi. Tapi biasanya sipenanggap meminta hiburan pembuka sebelum pertunjukan kethoprak, yaitu campursarinan dan ledekan (tari ledek) untuk hiburan pembuka dari jam tujuh sampai jam sembilan.
2. Lakon yang dimainkan lebih lama. Dapat melakonkan cerita-cerita zaman Kediri, Singasari, Majapahit, Mataram, dsb.
3. Kostum yang digunakan dapat lebih terbuka dan gemerlap.
4. Tata rias yang digunakan lebih menyala dan gemerlap.
5. Tata lampu yang digunakan lebih komplit.
Dalam sekali pementasan, biasanya secara lengkap (wayang taman, bala kepruk, pengrawit, sinden, piñata panggung, piñata lampu dan sopir) berjumlah sekitar 75 orang kebanyakan kawula muda. Dari sekian anggota wanita sebanyak tiga puluh orang. Dalam pementasan Kethoprak Siswo Budoyo menyiapkan kelengkapannya sendiri (gamelan, kostum, panggung, lampu dll.)
Situs Makam Sentono
Desa Pekuwon-juwana-Pati
Dimakam Sentono terdapat peristirahatan terakhir Syeh Muhammad Nurul Yaqin atau sering disebut Ki Ageng Sunan Ngerang. Beliau adalah tokoh penyebar agama di Pati yang berasal dari Jawa Timur yang menyebarkan agama dipesisir utara jawa hingga singgah di pati. Menetap/bertempat tinggal di desa Pekuwon Juwana Pati hingga akhir hayatnya.
Ki Ageng Sunan Ngerang masih mempunyai darah keturunan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Berikut adalah silsilah ki Ageng Sunan Ngerang :
1. Nabi Muhammad SAW
2. Sayidah Fatimah Zahra
3. Sayid Husain
4. Sayid Zainal Abidin
5. Sayid Moh Al Baqir
6. Sayid Jafar Sodiq
7. Sayid Ali Al Uraidi
8. Sayid Moh Annaqib
9. Sayid Isa Arrumi
10. Sayid Ahmad Almuhajir
11. Sayid Ubaidillah
12. Sayid Alwi
13. Sayid Muhamad
14. Sayid Alwi
15. Sayid Ali holiq Qusam
16. Sayid M Shohib Morbat
17. Sayid Alwi Amal Faqih
18. Sayid Abdul Malik
19. Sayid Abullah Khan
20. Sayid A. Syah Jalal
21. Sayid Jamaluddin Akbar al Husen
22. Sayid Jumadil kubro
23. Sayid Maulana Ishaq
24. Sunan Ngudung
25. Ki ageng Jabung
Kemudian Syeh Muhammad Nurul Yaqin ( ki Ageng Sunan Ngerang).
Beliau menyebarkan Islam di Pati pada masa kerajaan demak berkuasa, yang waktu itu masih dipimpin raden patah. Masa yang membuktikan penyebaran agama diwaktu itu adalah situs makam purbakala dari sang syeh yang diyakini simbah Sukardi (juru kunci makam sunan Ngerang) beserta warga setempat terdapat pohon randu tua berusia lima ratus tahun berada di sebelah selatan makam ki Ageng Ngerang, serta situs makam bupati Paranggaruda yang bernama Gurdapati yang berada di sebelah timur makam syeh sunan Ngerang. Dari kedua situs tersebut dapat membuktikan bahwa sunan Ngerang menyebarkan agama Islam pada waktu wilayah Paranggaruda masih ada.
Paranggaruda sekarang menjadi pati kidul dan terdapat kabupaten/wilayah lain yaitu karangsuka, aerah tersebut sekarang dikenal menjadi pati lor. Selain 2 wilayah tersebut dulu juga ada daerah bernama maja asem (jasem) yang bergabung menjadi satu bernama kabupaten Pati. Sampai sekarang keberadaan wilayah jasem belum dapat diketahui secara pasti. Antara Paranggaruda dan Karangsuka dibatasi sungai Silugangga (sekarang berada di daerah Juwana).
Penyebaran agama Islam (dakwah) sunan Ngerang bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat sekitar karena dakwah menyiarkan ajaran Islam sambil menggunakan iringan musik rebana, serta sang syeh sendiri memperistri Nyai Juminah yaitu anak dari Bondan Kejawan (ki Ageng Tarub II) yang masih keturunan majapahit, sehingga ajaran agama yang disampaikan dapat dipercaya oleh masyarakat Pati, tadinya menganut kepercayaan hindu budha, sedikit demi sedikit memeluk agama Islam. Berikut silsilah Nyai Juminah (istri Snan Ngerang)
1. Prabu Para Wana (Raden Wijaya)
2. Prabu Bra Kumara
3. R Parto Wijaya
Simbah sukardi menerangkan bahwa Raden Parto Wijaya diperkirakan Hayam Wuruk, tetapi dalam kitap Negarkertagama dijelaskan bahwa Raja Hayam Wuruk meninggal sebelum mempunyai istri, sehingga bukti kebenaran Raden Parto Wijaya adalah Hayam Wuruk masih kontroversi. Apakah betuk hayam Wuruk, ataukah masih saudarnya dari Hayam Wuruk dll
4. Lembu Amisani
5. Prabu Bra Tanjung
6. Arya Angka Wijaya (Brawijaya V)
7. Bondan kejawan ( Ki Angeng Tarub II)
Dari sil-silah tersebut ada simpulan bahwa Nyai Juminah masih keturunan Raden Wijaya dengan kata lain masih keturunan dari Prabu Aji Jaya Baya.
Sunan Ngerang mempunyai cucu yaitu :
1. Raden Kembang Jayo Adipati Pesantren (Pati I)
2. Roro Sari( Ratu Mas) permaisuri panembahan senopati (mataram I)
TRADISI YANG SERING DILAKUKAN
v HAUL ( Semacam perayaan Hari Besar / hari meninggalnya ahli kubur )
Haul makam Syeh Muhammad Nurul Yaqin atau sering disebut Ki Ageng Sunan Ngerang pada tanggal 15 Syura / 15 Muharram.
v Tradisi Saat Haul
− Slametan tumpengan diselenggarakan oleh Takmir / pengurus masjid Desa Pekuwon Juwana Pati.
− Semua warga menghadiri selamatan ( slametan ) dengan membawa kudapan / makanan rejeki masing – masing keluarga sebanyak 2 besek ( 2 wadah ).
− Buka selambu diiringi dengan rebana ( yang memimpin dan membuka selambu adalah tokoh masyarakat yaitu Kyai yang merupakan takmir masjid.
Sumber
· Sejarah Perjuangan Sunan Ngerang
juru kunci makam Ki Ageng Sunan Ngerang Simbah Sukardi.
WALIYULLAH K . H AHMAD MUTAMAKKIN
Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah
TRADISI / UPACARA DI MAKAM
(Haul Makam Waliyullah K. H Ahmad Mutamakkin )
· Tanggal 7 Muharram = Burdah
Burdah yaitu berjanji ( semacam sholawatan memuji kanjeng Nabi Muhammad SAW) dengan iringan terbang.
· Tanggal 9 Muharram = Tahlil secara bergilir dari pembukaan acara hingga acara berakhir.
· Tanggal 9 Muharram = buka selambu dan lelang selambu.
Acara lelang selambu terjadi ketika acara buka selambu selesai dan dipajang dekat teras Makam. Biasanya ditawarkan kepada pengunjung kain selambu tersebut. Tahun kemarin harga Selambu Mustaka (selambu yang di pakai menutup maesan / patokan bagian utara ) senilai 37 juta rupiah, sedangkan selambu yang lain berkisar 150 – 15 juta rupiah.selambu tersebut dipercaya masyarakat dengan ijin Alloh dapat” Ngalap Barokah “ mendapat barokah simbah Ahmad Mutamakkin.
· Tanggal 10 Muharram = Takhtimul Qur’an bin Nadhor.
Yaitu katam Al – Qur’an 30 jus model simakan (Seorang khafids membaca Al – Qur’an yang lain menyimak ) dimulai ba’da / sesudah Isa hingga subuh.
· Tanggal 10 Muharram = Tahlil Haul
Tahlilan setelah Takhtimul Qur’An.
Tanggal 10 Muharram = Managip penutup ( semacam mujadahan dengan menyebut nama – nama Allah serta sholawatan kepada Rosul..
Perilaku Simbah Ahmad Mutamakkin yang menjadi adat istiadat :
ü “ Seneng Marang Al – Qur’an “
Seneng dengan Al – Qur’an sehingga masyarakat kajen banyak yang mendalami Al-Qur’an sampai hafal 30 jus, kabar tersebut tersebar luas hingga banyak para perantau menjadi santri / nyantri di Pondok pesantren Matholiul Falal Kajen, Pati untuk belajar menghafal Al – Qur’an.
ü Seneng wirid dan Tawasul
Senang wirid / berzikir dan Tawasul, masyarakat kajen sangat menghormati orang yang ahli tarikah ( ahli zikir) .
Takhayul aspek obat-obatan rakyat yang mengandung ilmu gaib di makam Ahmad Mutamakkin.
ü Sumuripun Simbah Ahmad Mutamakkin
Dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan segala macam penyakit.
ü Toya kijingan
Air yang dapat membersihkan nisan/kijing mengalir dalam wadah. Setelah selesai menyucikan situs makam,air dibuat rebutan pengunjung untuk mendapatkan berkah. Kepercayaan warga apabila wudlu dan mandi dengan air kijingan maka apa yang diminta dalam hatinya Insya Allah akan terkabul.
Narasumber : staf keamanan dan penjaga bapak Marzuki.
Desa Bakaran
Berawal sejak abad XIV dari Majapahit. Diproduksi (diprakarsai) oleh Nyi Dhanowati (abdi dalem Majapahit) perawat gedung pusaka/senjata dan pengadaan seragam prajurit. Pada waktu itu Majapahit diserang pasukan Demak dan keraton porak poranda. Nyi Dhanowatipun lari menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Demak. Beliau masuk kehutan dan babad alas. Alas tersebut dibakar sampai asapnya tebal, kemudian langes (kumpulan asap hitam) yang ada di udara digunakan sebagai pembatas wilayahnya yang sampai sekarang disebut desa bakaran.
Untuk menghindari kejaran pasukan Demak, Nyi Dhanowati mengubah nama menjadi Nyai Ageng Siti Sabirah. Sampai sekarang masih dikenal sebagai cikal bakal berdirinya bakaran.
Setelah sekian lama bermukim, Nyai Ageng Siti Sabirah melakukan aktivitas lama sewaktu di Keraton untuk membatik, yang sekarang dikenal dengan nama batik bakaran.
Nyi Ageng merupakan salah satu tokoh di desa Bakaran. Beliau turut andil dalam memberi nama Bakaran. Konon katanya, beliau tidak meninggal. Siapa pun yang ingin bertemu beliau harus menjalankan puasa ”muteh” dan puasa senin kamis. Dia juga meninggalkan pepatah untuk anak cucunya, yaitu:
1. Tidak boleh berjualan nasi
2. Tidak boleh ”medel” (mewarnai kain batik)
3. Tidak boleh bermain bakar-bakaran
4. Tidak boleh membuat rumah dari batu bata merah
Itulah petuah yang diberikan Nyi Ageng kepada anak cucunya. Hingga sekarang masyarakat Bakaran masih percaya dengan petuah tersebut.
Petuah yang pertama, yakni jangan menjual nasi dianggap perbuatan yang kurang baik. Karena masyarakat berpendapat bahwa nasi adalah kebutuhan pokok yang dimakan setiap hari, sehingga jika ada orang yang menjual nasi sama saja dengan menjual rejekinya sendiri. Masyarakat percaya jika nasi itu lebih baik diberikan secara ikhlas, bukan dijual. Ada sebuah pemakluman untuk memperbolehkan menjual nasi dengan catatan nasi tersebut dioleh menjadi bubur, lontong atau jenis makanan lain.
Jangan menggunakan wenter untuk membuat batik. Ini mempunyai filosofi, bahwa menggunakan wenter banyak sekali resikonya. Setiap hari harus berada didekat api yang mendidih, lantas menyelupkannya, itu merupakan pekerjaan yang penuh resiko. Bakaran merupakan daerah yang terkenal akan batik tulisnya, bahkan Nyi Ageng sehari-hari konon juga menggunakan batik tulis. Oleh karena itu batik tulis bakaran masih lestari hingga sekarang.
Maksud dari jangan ada bakar-bakaran di Desa Bakaran adalah jangan sampai ada pekerjaan sebagai tukang besi di desa tersebut. Masyarakat sangat percaya, tukang besi merupakan pekerjaan yang sangat beresiko. Dalam mengelas besi, mata menjadi taruhannya. Jika mata sudah rusak, maka bisa dikatakan hancurlah kehidupan seseorang. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan, hadirlah peraturan tersebut.
Di desa Bakaran, ada pundhen yang terbuat dari batu bata merah. Punden ini adalah rumah Nyi Ageng pada zaman itu. Muncul larangan agar tidak membuat rumah dari batu bata merah adalah bahwa Nyi Ageng tidak menghendaki ada yang mengembari pundenya. Oleh karena itu, hampir semua rumah di desa Bakaran menggunakan batu bata putih. Ada beberapa yang ragu sehingga menggunakan batu bata putih dan batu bata merah.
Punden petilasan Nyai Ageng Siti Sabirah sekarang digunakan adat istiadat
ü Mantenan/nikahan
Kedua mempelai diwajibkan mengelilingi punden,apabila tidak melakukan adat istiadat tersebut dipercaya masyarakat bakaran hubungan keduanya tidak akan bertahan lama.
ü Pagelaran wayang kulit setahun sekali
Pementasan sehari di punden dan malamnya di kelurahan. Dalang dalam upacara tersebut tidak sembarang dalang. Hanya dalang yang masih murni keaslian dalang pada tempo dulu. Seperti Ki Anom Suroto dan Ki Mantep Sudarsono.
ü Terdapat sumur yang disebut “Sumur Sumpah” menurut kepercayaan masyarakat Sumur Sumpah dapat mengatasi permasalahan. Seperti halnya sumpah pocong. Apabila ada orang yang mencurigai seseorang tetapi orang yang dicurigai tidak mengaku,keduanya meminum air sumur sumpah,apabila terbukti benar kecurigaan itu,maka orang yang dicurigai meninggal dalam waktu 41 hari. Dan kebalikannya,apabila orang tersebut terbukti tidak bersalah maka orang yang mencurigai akan mati dalam waktu 41 hari. ( Dulunya sumur itu digunakan untuk proses pencucian batik. Tetapi beralih fungsi hingga tahun 1977 oleh Kepala Desa bakaran wetan ditutup tidak boleh digunakan sebagai mana mitos masyarakat yang telah beredar).
Larangan-larangan di bakaran :
ü Proses wedel (mewarnai batik menggunakan warna biru tua,pakai daun nila)
ü Menjual nasi
Karena menjual nasi dianggap perbuatan yang kurang baik. Karena masyarakat berpendapat bahwa nasi adalah kebutuhan pokok yang dimakan setiap hari, sehingga jika ada orang yang menjual nasi sama saja dengan menjual rejekinya sendiri. Masyarakat percaya jika nasi itu lebih baik diberikan secara ikhlas, bukan dijual. Ada sebuah pemakluman untuk memperbolehkan menjual nasi dengan catatan nasi tersebut diolah menjadi bubur, lontong atau jenis makanan lain.
ü Naik haji
Orang yang naik haji pulang pasti meninggal atau gila. Orang yang ahli wirit akan stress.
# bukan Lisan
BATIK BAKARAN
1. Sejarah Batik Bakaran
Berawal sejak abad XIV dari Majapahit. Diproduksi (diprakarsai) oleh Nyi Dhanowati (abdi dalem Majapahit) perawat gedung pusaka/senjata dan pengadaan seragam prajurit. Pada waktu itu Majapahit diserang pasukan Demak dan keraton porak poranda Nyi Dhanowatipun lari menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Demak. Beliau masuk kehutan dan babad alas. Alas tersebut dibakar sampai asapnya tebal,kemudian langes (kumpulan asap hitam) yang ada di udara digunakan sebagai pembatas wilayahnya yang sampai sekarang disebut desa bakaran.
Untuk menghindari kejaran pasukan Demak, Nyi Dhanowati mengubah nama menjadi Nyai Ageng Siti Sabirah. Sampai sekarang masih dikenal sebagai cikal bakal berdirinya bakaran.
Setelah sekian lama bermukim, Nyai Ageng Siti Sabirah melakukan aktivitas lama sewaktu di Keraton untuk membatik, yang sekarang dikenal dengan nama batik bakaran.
(Observasi bersama tokoh pemrakarsa batik bakaran Pati, bapak bukhari)
Ciri khas batik bakaran :
1. Tata warna
2. Pecahan malam (remukan malam) warnanya coklat sawo matang
Fungsi batik bakaran:
1. Dulu ketika jaman Kerajaan Majapahit sebagai sarung,Selendang bayi,ikat kepala,dll. Jaman dahulu batik digunakan untuk pakaian merupakan hal tabu.
2. Pada masa sekarang batik sudah digunakan sebagai baju sebagai identitas budaya bangsa.
Batik bakaran terdapat 16 macam corak asli dari peninggalan Nyai Ageng Siti Sabirah, serta 8 modifikasi masarakat bakaran pada masa itu.
matur suwun atas informasinya..
BalasHapussaya juga orang pati